Rabu, 26 Maret 2008

Kepolisian Berharap Ada UU "Cyber Crime"

Kepolisian RI mengharapkan adanya Undang-Undang (UU) yang khusus mengatur mengenai kejahatan di dunia maya (cyber crime) menyusul diundangkannya Rancangan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi UU oleh DPR RI pada Selasa.

"Setelah UU ITE ini, kami harap nantinya akan dibahas juga undang-undang tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi (TPTI)," kata Kepala Unit Teknologi Informasi (TI) dan "Cyber Crime" Direktorat II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Kombes Polisi Petrus R. Golose, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Dengan disahkannya RUU ITE menjadi undang-undang, Petrus mengatakan, dapat menjadi payung hukum pertama bagi aparat hukum untuk menindak kejahatan transaksi elektronik di dunia maya.

Petrus menjelaskan pihaknya juga tidak lagi merasa malu bila bertemu dengan organisasi kepolisian internasional seperti Interpol karena telah memiliki payung hukum kejahatan terkait penyalahgunaan di dunia maya.

Sedangkan Kepala Bagian Penyusunan Program Pelaporan Pemantauan dan Penilaian (Sunprolabnil) Jampidum Kejaksaan Agung, Arif Mulyawan mengatakan disahkannya UU ITE ini merupakan prestasi luar biasa bagi penegakan hukum Indonesia karena dokumen elektronik sekarang bisa menjadi bukti hukum.

Arif mengatakan selama ini memang pihaknya mengalami kendala payung hukum apabila menangani kejahatan yang terkait pemanfaatan teknologi informasi.

Sementara itu Dosen Hukum Telematika Universitas Indonesia Edmon Makarim mengatakan UU ITE ini merangkum dan mendasarkan dari tiga payung hukum mengenai transaksi elektronik internasional yaitu "Uncitral Model Law for e-commerce", "Uncitral Model Law for e-signature" dan "UN Convention on Cybercrime".

Sedangkan Pengamat Telematika Roy Suryo mengatakan meski belum sempurna dan aplikatif, disahkannya UU ITE ini perlu disambut gembira oleh semua pihak.

"UU ITE ini akan disempurnakan oleh peraturan pemerintah dibawahnya," kata Roy.

Dalam kesempatan tersebut, Menkominfo Muhammad Nuh mengatakan sesuai pasal 11 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan DPR, disebutkan bahwa tanda tangan elektronik mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah sama dengan tanda tangan konvensional yang menggunakan tinta basah dan meterai.

"Undang-undang ini berlaku untuk tiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia," terang Nuh.

Dengan disahkannya UU ITE oleh DPR, Nuh menjelaskan Indonesia sekarang sudah sejajar dengan negara-negara maju yang telah mempunyai undang-undang terkait pemanfaatan teknologi seperti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Singapura, Malaysia dan India.

"Setelah menanti sekitar lima tahun, akhirnya kita punya payung hukum berkait dengan berbagai hal tentang informasi dan transaksi elektronik. Ini maknanya sebagai bangsa kita telah sejajar dengan masyarakat dunia di dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat modern dalam melakukan transaksi elektronik," kata Nuh.

Dia melanjutkan UU ITE memberikan kepastian hukum tentang bentuk-bentuk transaksi elektronik yang dapat dijadikan alat bukti sah.

"Selama ini bentuk-bentuk transaksi elektronik yang hanya dibuktikan sebagai selembar kertas bukti transfer misalnya tidak bisa dijadikan alat bukti karena memang belum ada payung hukumnya untuk itu," kata Nuh. (*)

sumber : antara.co.id

Tidak ada komentar: